MENCIPTA “ZEITGEIST” SEMANGAT ZAMAN KITA SENDIRI
MENCIPTA “ZEITGEIST” SEMANGAT ZAMAN KITA SENDIRI
Jember Menaranews.online”Bulan Agustus telah lewat, bulan dimana masyarakat Indonesia merayakan euforia kemerdekaan bangsa nya dari rantai penjajahan. Kita banyak berharap semangat kemerdekaan tidak hanya menjadi semangat satu tahunan di bulan agustus.
Terhitung 77 tahun kemerdekaan Indonesia sejak proklamasi dikumandangkan Soekarno-Hatta di jl. Pegangsaan Timur No.56 Jakarta. Keseimbangan berlaku sesuai hukum semesta, ada yang bertambah ada yang berkurang, bertambahnya usia Republik bersanding dengan berkurangnya saksi dan pelaku sejarah kemerdakaan.
Mereka sudah banyak berkurang, tersisa sedikit sekali; Orang-orang yang hidup dalam kesulitan dan penderitaan akibat keserakahan-penindasan bangsa lain. Para pahlawan yang bertahan hidup dari kejamnya perang tidak berimbang melawan penjajah, dan membawa pahitnya kenangan sanak saudara meregang nyawa akibat diketahui sebagai keluarga pejuang, juga menerima kenyataan kawan-sahabat-saudara seperjuangannya yang telah banyak melalui suka duka bersama, harus berguguran berkalang tanah tanpa bisa menikmati hasil dari upaya yang sungguh-sungguh mereka perjuangkan, hidup damai sejahtera di alam kemerdekaan Republik Indonesia.
Generasi saksi dan pelaku perjuangan kemerdekaan ini biasa disebut angkatan ’45. Angkatan ’45 ini memiliki tremendum (efek menggetarkan) yang kuat dalam menyampaikan kisah-kisah perjuangannya. Generasi yang datang setelah perang kemerdekaan lahir di tahun 1950-1960an, mereka mendengar langsung secara tutur dari angkatan ’45 secara spontan kuat tertanam di dadanya nasionalisme-patriotisme nya, dan membawa “Zeitgeist” (Semangat zaman) untuk mengisi kemerdekaan dengan salah satunya pembangunan jati diri dan karakter nasional sebagai Bangsa Indonesia.
Semangat zaman untuk pembangunan jatidiri dan karakter nasional terbentuk karena keadaan zaman itu pribumi adalah kelas paling rendah yang rentan didiskriminasi selama puluhan-ratusan tahun, mengakibatkan rendahnya mental bangsa pribumi kala itu. Maka perlu upaya agar pribumi memulihkan kepercayaan diri nya sebagai bangsa yang pernah besar dimasa lalu sebelum negara Robin Van Persie menyerang.
Berbeda dengan kita yang baru menjadi dewasa di dekade ini, kita harus banyak membaca dan berdiskusi untuk menggali sejarah dan menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme. Kita masih memiliki “PR” dari generasi sebelumnya yang belum benar-benar tuntas menemukan karakter dan kepribadian bangsanya. Belum lagi tugas kedepan amatlah tidak mudah, harus berhadapan dengan persaingan global dimana banyak bangsa yang lebih siap dan superior dibanding dengan bangsa lainnya.
Kita masih belum selesai dengan persoalan-persoalan persatuan, sebagai contoh sederhana banyak organisasi berpecah di internalnya sendiri menjadi kubu-kubu dan didalam kubu yang sama pun masih ada lagi perasaan “yang paling” diantara sekubu nya. Perasaan superioritas organisasi dibanding organisasi lainnya, superioritas suku bangsa dibanding suku bangsa lainnya, superioritas daerah dibanding daerah lainnya, sampai superioritas gang dibanding gang yang lainnya, bahkan dalam satu gang pun ada yang merasa lebih penting dari penghuni gang yang lain.
Inilah mengapa generasi milenial harus menyadari keadaan sekitarnya, menggali akar masalah, menemukan solusi, dan kemudian menjadikannya sebagai “Zeitgeist” atau semangat zaman nya.
Dengan uraian singkat diatas, semangat zaman kaum milenial kedepan mestinya adalah semangat Kohesifitas, atau semangat persatuan. Dimana individu satu dengan yang lainnya saling melekat, setia, dan menguatkan. Begitupun organisasi satu dan organisasi lainnya, harus melihat perbedaan sebagai sebuah fusi untuk menyatukan kekuatan menjadi lebih besar dan berdaya.
Sudah waktunya Indonesia bangkit dan berlari. Dan cara bangkit dan berlari harus dimulai dari semangat kohesi, semangat persatuan.
Banyak tokoh yang beranggapan belum majunya Indonesia dikarenakan usia kemerdekaan kita masih muda, mereka membandingkan dengan kemerdekaan Amerika serikat yang berumur 246 tahun (Merdeka tahun 1776). Lalu bagaimana dengan usia kemerdekaan Singapura yg baru 57 tahun dan lebih maju dibanding kita? Ada jawaban tidak bisa disamakan karena indonesia lebih besar geografinya tentu lebih sulit mengelolanya dibanding singapura. Lalu bagaimana dengan Republik Rakyat China yg baru merdeka 1949, atau 4 tahun lebih muda dan memiliki wilayah yang lebih luas dari Indonesia, mereka jauh menggungguli kita.
Kita tutup dengan bagian akhir dari buku Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner” untuk memompa nasionalisme-patriotisme kita. Di situ Tan Malaka antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri… Kewajiban seorang yang tahu keharusan seorang putra tanah tumpah darahnya.”
Merdeka!
Arif Ramadhany
Ketua KNPI Jember