Politik

Roman dan Ancaman Runtuhnya Integritas Pemilu Oleh Moch Eksan

Roman dan Ancaman Runtuhnya Integritas Pemilu
Oleh Moch Eksan

Jember Menaranews.online“Untuk kedua kalinya, Hasyim Asy’ari dilaporkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Kali ini yang melaporkan tidak lagi Farhat Abbas melainkan Ikhsan Perima Negara dan Bashar selaku kuasa hukum Micha Hasnaeni Moein atas dugaan pelecehan seksual.

Hasyim Asy’ari, adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia seorang sarjana Nahdlatul Ulama (NU) yang besar dalam kultur pesantren dan dibesarkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gerakan Pemuda (GP Ansor) Jawa Tengah. Pria kelahiran Pati, 3 Maret 1972, aktif di penyelenggara pemilu sedari awal sampai sekarang.

Hasyim tercatat pernah menjadi komisioner KPU Provinsi Jateng Periode 2003-2009, dan Komisioner KPU Republik Indonesia Periode 2016-sekarang. Dosen Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang ini, kini menjadi orang nomor wahid pada lembaga independen penyelenggara pemilu di Nusantara.

Sedangkan, Micha Hasnaeni Moein adalah Ketua Umum Partai Republik Satu. Salah satu partai yang dinyatakan tak lolos verifikasi administratif oleh KPU. Partai yang membuat pusing partai parlemen lantaran banyak kasus data kembar keanggotaan dengan partai baru ini.

Hasnaeni adalah putri politisi PDI Perjuangan, Max Moein, anggota DPR RI Periode 1999-2009. Perempuan kelahiran Makassar, 17 Juli 1976 merupakan pengusaha yang mencoba keberuntungan di politik dengan mendirikan partai.

Hasyim dan Hasnaeni dua public figure yang terlibat perkara etika di DKPP untu kedua kalinya. Laporan pertama dicabut, dan sekarang di laporkan kembali dengan dugaan kasus yang sama. Tuduhannya sangat serius: pelecehan seksual Hasyim kepada Hasnaeni. Benar atau tidak, dugaan kasus tersebut, biarlah pengadilan etik nanti yang membuktikannya.

Yang pasti, Hasyim dan Hasnaeni punya hubungan klientik. Dimana Ketua KPU wajib melayani Ketua Umum Partai sebagai penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Namun rupanya, hubungan keduanya tak sebatas profesional. Aroma hubungan personal melahirkan cerita roman yang menyeret integritas Pemilu 2024.

Perkara roman itu fiksi atau non fiksi, biarkan ini menjadi urusan pribadi antara Hasyim dan Hasnaeni. Namun, limbah roman yang berlatar wanprestasi dan berujung perkara etik ini, memaksa publik terlibat untuk tahu dan menilai. Betapa integritas pemilu rentan dikorbankan oleh romandua insan.

Apalagi, Si Wanita Emas ini mengumbar cerita janji skenario pemenangan melalui penyelenggara pemilu, dan janji manis meloloskan partainya. Roman dua insan ini benar-benar menghentak kesadaran publik. Sebuah praktek permainan di balik panggung belakang politik Indonesia.

Selaku mantan kolega sesama komisioner KPU periode awal, saya berharap, nyanyian Si Wanita Emas itu tidak benar. Sekali lagi tidak benar. Namun, bila hasil pengadilan etika berkata lain. Integritas pemilu benar-benar runtuh seruntuh-runtuhnya. Semua pasti tak bisa menahan malu. Ini aib demokrasi terbesar pasca pemilu reformasi sejak 1999 sampai sekarang.

Bagaimana tidak? Pemilu 2024 akan kehilangan legitimasi moral. Betapa murahnya lolos dan menang dalam pemilu. Peserta pemilu tak perlu capek-capek menguras energi banyak. Cukup membuat kesepakatan jahat dengan penyelenggara pemilu dari pusat sampai dengan tempat pemungutan suara (TPS). Ongkos maintenance pun cukup entertain dengan rupiah dan kesenangan sesaat.

Tak bisa dibayangkan kemarahan para arsitek KPU yang bercita-cita menjadikannya sebagai lembaga publik yang terpercaya di Republik ini. Mereka di tempat peristirahatan abadi atau di usia senjanya, masih menyaksikan public distrust melanda besar-besaran terhadap KPU. Padahal, KPU merupakan harapan terakhir untuk menyelesaikan krisis kepercayaan melalui Pemilu yang Luber dan Jurdil.

Bagi negara yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat, pemilu bukan sekadar sarana tapi juga tujuan. Pemerintahan yang demokratis dan masyarakat yang demokratis hanya bisa diwujudkan melalui pemilu yang demokratis pula.

Prof Muhammad, mantan Ketua Bawaslu dan anggota DKPP, menegaskan bahwa pemilu demokrasi adalah pemilu yang memenuhi unsur prosedural sekaligus unsur substansial dari pemilu itu sendiri. Yaitu pemilu yang bercirikan 5 hal.

Antara lain: pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom. Kedua, terwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil. Ketiga, adanya suksesi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta terjaga dengan bersih dan transparan. Keempat, adanya monitoring, kontrol, dan pengawasan terhadap kekuasan, serta check and balance. Kelima, adanya tatakrama, nilai dan norma bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, kasus Hasyim Vs Hasnaeni telah mencoreng harkat, martabat dan kehormatan penyelenggara pemilu. Kendati sistem pemilu sudah lebih baik, namun masih terdapat celah untuk disalahgunakan. Semua terpulang pada moral hazard tiap pribadi masing-masing.

Akhirnya, saya kutipkan kata bijak Patrick Spencer Johnson, seorang dokter dan penulis Amerika dengan buku terlaris Who Moved My Cheese di New York Times. Ia mengatakan: ” Integritas mengatakan pada diri saya sendiri yang sebenarnya. Dan kejujuran adalah mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain”.

*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.

(Mn-eks)

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button