News

Sertifikat Tanah: Hak Konstitusional yang Harus Dihormati

Sertifikat Tanah: Hak Konstitusional yang Harus Dihormati

Oleh: Dodik Puji Basuki – Advokat Jember

Menaranews.online”Tanah adalah sumber kehidupan. UUD 1945 melalui Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut, Pasal 28D ayat (1) menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Dua norma ini menegaskan satu hal: kepastian hukum atas tanah adalah hak konstitusional rakyat. Wujud nyata hak itu adalah sertifikat tanah. Sayangnya, bagi banyak warga, sertifikat masih terasa seperti barang mewah: proses panjang, biaya dianggap tinggi, bahkan kadang diwarnai praktik pungli.
Padahal negara sudah menyediakan jalur hukum yang jelas: dari pemberkasan, pengukuran, verifikasi, hingga penerbitan sertifikat. Aturan utama ada dalam UUPA 1960 dan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jika prosedur dijalankan sebagaimana mestinya, rakyat seharusnya memperoleh sertifikat tanpa hambatan berarti.

Masalah Lapangan
Mengapa sertifikat sering sulit didapat? Ada beberapa kendala klasik:
Dokumen tidak lengkap – masih banyak tanah hanya didukung bukti bawah tangan.
Sengketa batas – ketidakjelasan batas tanah sering memicu perselisihan.
Proses yang lama – standar layanan sudah ada, tapi sering molor.
Pungutan liar dan calo – inilah yang membuat biaya terasa memberatkan.

Jika tidak diselesaikan, hambatan ini sama saja dengan pengingkaran negara atas hak konstitusional rakyat.

Biaya: Mitos dan Fakta
Banyak warga menganggap biaya sertifikasi mahal. Padahal biaya resmi relatif terjangkau, misalnya pendaftaran awal Rp50 ribu, biaya pengukuran yang bergantung luas bidang, dan pemeriksaan data. Yang sering membuat mahal bukan aturan, melainkan pungli dan informasi yang tidak transparan.
Transparansi pembayaran dan layanan non-tunai mutlak diperlukan agar rakyat percaya dan merasa dilayani dengan adil.

PTSL: Jalan Percepatan
Untuk mengatasi persoalan itu, sejak 2017 pemerintah meluncurkan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program ini mendaftarkan tanah secara kolektif di satu desa/kelurahan sehingga biaya lebih ringan, sengketa batas lebih cepat diselesaikan, dan data pertanahan nasional menjadi lebih akurat.
PTSL sejatinya adalah langkah strategis negara untuk menghormati hak rakyat atas kepastian hukum tanah. Namun tantangan tetap ada: keterbatasan tenaga ukur, kurangnya sosialisasi, hingga keraguan sebagian warga. Tanpa sinergi antara pemerintah, BPN, aparat desa, dan masyarakat, PTSL berpotensi hanya menjadi jargon.

Negara Harus Hadir
Sertifikat tanah bukan sekadar kertas berstempel negara. Ia adalah simbol kepastian hukum, perlindungan aset keluarga, dan warisan generasi. Mengurus sertifikat bukan hanya kewajiban administratif, melainkan cara rakyat menjaga hak konstitusionalnya.
Di sisi lain, pemerintah harus hadir dengan pelayanan cepat, bersih, dan transparan. Setiap pungli, calo, atau keterlambatan pelayanan adalah bentuk pelecehan terhadap hak warga negara.
Pada akhirnya, menghormati sertifikat tanah berarti menghormati konstitusi. Negara wajib menjamin hak itu, sementara rakyat wajib menjaga dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama.

(Mn-dd)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button