News

Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Nur Purnamasidi Menyoroti Masih Mahalnya Biaya Pendidikan meski 20 persen APBN untuk Pendidikan.

Jakarta, Menaranews.onlin”Selasa, 9 Juli 2024 07:15 WIB. Masih Mahalnya Beaya Pendidikan di Indonesia di pertanyakan oleh
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golkar Muhammad Nur Purnamasidi.

Dikatakan mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di kampus negeri menjadi perhatian,mengingat 20 persen Anggaran APBN telah disiapkan Untuk Pendidikan.

Menurut Bang Pur ( panggilan Akrab Muhamad Nur Purnamasidi),Kenaikan diduga karena dana pendidikan sebesar 20 persen dari dana APBN yakni sekitar Rp 665 triliun tersebut tidak seutuhnya untuk pendidikan.”imbuhnya.

Anggota Komisi X DPR Muhammad Nur Purnamasidi ini merasakan betul,karena sejak menjadi anggota DPR RI, mandatory spending untuk pendidikan ini makin nggak karuan.

“Makanya saya berpikir bagaimana caranya menagih ke Kemen­te­rian Keuangan­ ­(Kemenkeu) agar yang sekitar Rp 665 triliun itu ­betul-betul untuk pendidikan,” tegas nya.

Menurut Bang Pur sejatinya mandatory spending 20 persen pendidikan ini, harusnya diarahkan pada bagaimana menghitung biaya pendidikan tersebut dari biaya satuan per siswa/mahasiswa. Namun, pembiayaan untuk sektor pendidikan agak susah, tapi di luar pendidikan sangat mudah dikeluarkan.

Menurut Politisi Partai Golkar ini“Kita cari cara menghitung harga satuan pendidikan. Sehingga kita bisa menagihkan berapa uang negara dari APBN yang harus diinvestasikan melalui lembaga-lembaga pen­didikan. Jadi itu mengapa kita buat panja pembiayaan pen­didikan.

Dikatakan lebih lanjut “Sekarang ini telah terjadi pergeseran para­digma pembiayaan pendidikan. ­Dahulu kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbilang murah.

Sangat rasakan betul, biaya kuliah di PTN itu hanya sebesar Rp 90 ribu per semester.

“Untuk Kuliah ke PTN lebih mahal dibanding Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Apalagi setelah ada PTN-BH (Berbadan Hukum) dan BLU (Badan Layanan Umum).ungkapnya.

Pihaknya menduga mungkin ada komersialisasi pendidikan. Ini penyebab pendidikan kita makin ke mari makin mahal padahal ada mandatory spending 20 persen,” lanjutnya.

Yang menjadi sorotan Politisi Golkar , di saat biaya di PTN menjulang tinggi, PTS tidak kebanjiran peminat mahasiswa. PTS tetap saja kalah bersaing oleh PTN. Masalah­nya, PTS sangat tergantung seberapa besar jumlah mahasiswa yang mereka dapatkan setiap tahun. Dengan adanya PTN-BH dan BLU, ruang bagi mereka untuk mendapatkan mahasiswa malah tambah berat. Ditambah lagi bantuan operasional dari ­Peme­rintah pun makin berkurang.

Muhamad Nur mengatakan, dengan ada­nya PTN-BH ini, kampus-kampus PTN diharapkan lepas dari pembiayaan negara. Seperti halnya Universitas Indonesia (UI) yang sudah punya sistem mencari pembiayaan di luar UKT. Jaringan alumni bagus, jaringan kerja sama akademik dengan luar negeri semakin baik. Ke depan diharapkan, mereka bisa membiayai sendiri operasional kampusnya.

Namun yang terjadi, ­justru banyak PTN yang malah ber­lomba-lomba menaikkan UKT dengan kisaran 300-500 persen.“Saya sepakat pengu­rangan anggaran APBN untuk PTN tertentu terutama yang berstatus PTNBH. Harus ada pada tahapan tertentu nol rupiah dari pembiayaan negara. Tapi bagaimana dengan PTN yang masih BLU, belum PTNBH atau PTS, ini tentu tidak bisa kita abaikan,” tambahnya.

Dikatakan Persoalan UKT ini,  juga tidak lepas dari data kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang pelit data terhadap alokasi pembiayaan pendidikan. Data terkait mandatory spending 20 persen ini pun akhirnya terbuka setelah isu UKT ramai.

“setelah dibuka ternyata ­sampai hari ini untuk PTN saja tidak lebih dari 20 persen dari kebutuhan BKT (biaya kuliah tunggal) yang dibutuhkan ­untuk perguruan tinggi. Itu pun setelah 3 tahun, setelah kita ramaikan baru dibuka. Andai saja 3 tahun lalu data ini dibuka Ke­mendikbud, mungkin tidak ramai ­seperti sekarang,” pungkasnya.

(Mn-sta)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button